Rabu, 27 Juli 2011

TITIK NOL

TELAH TERBIT ANTOLOGI CERPEN “TITIK NOL”
Penulis: Ach Dhofir Zuhry, dkk
Tebal Halaman: XXII + 376
Ukuran buku: 12x21
ISBN: 978-602-98543-1-2
Harga: 55.000 (belum termasuk ongkir)
yang mau memesan bisa langsung inbox, atau sms ke nomer: 082114698404


Nama penulis dalam antologi ini:

Aa_kaslan, A Baim JLNKeabadian, Abdian Rahman, Ahmed Ghoseen Al-Qohtany, Alif Wood, Bambang Kariyawan Ys, Bella Adam, Birri Zamrock, Dyla Edel, Galih Prasetyo, Haruka Azary, Hylla Shane Gerhana, Iis Istrini, Indra Hermarita, Isti Subandini, Jioo Erhyria, Kk, Lentera Al-Jazhiran, Likha Alhamaliah, Lina Lidia, Linda Jayanti, Mbak Sowiyah, Mega Surya Pratiwi, M. Husni Tamrin, Muhammad Ardi, Muhammad Mak, Nanda Ochi, Nisa Alawiyah, Nur Syahidah Ramah, Nyimas Sri Rahayu, Ulfatun Ni’mah, Ulviyatun Ni’mah, Rahmatika Choiria, Risah Zain, Rofiq Hasansah, Sabil Ananda, Selfiati Nusantara, Yadhi Rusmiadi Jashar, Zora Alfart.

Sinopsis:

Bagi sebagian orang, seni bercerita tidak hanya sekedar menyampaikan sesuatu secara bermakna, tapi mengaitkannya dengan keadaan dan citarasa tentang prinsip, ide, konsep, dan tentu saja kehendak melakukan perubahan bagi pembaca, meski hanya sebatas harapan memperbaiki fungsi kesadaran manusia.
Seni, jika boleh mengatakan demikian maka “Titik Nol” adalahnya; bagaimana ide-ide imajinatif terkerangka dalam sebuah cerita yang berusaha, atau lebih ringan jika dikatakan berupaya untuk mengenalkan kekayaan personal tentang hasrat dalam berkalimat, bersuka-cerita, bersilang-keinginan, bahkan sampai bertukar-kepribadian, hanya untuk merealisasikan sesuatu yang ada di mana pun, bagaimana pun, kapan pun, apa pun—yang dalam bahasa sederhana disebut ‘alam cita-cita’
.

Dalam “Titik Nol”, ladang ini telah ditanami oleh berbagai aneka ide, tidak hanya sebatas keinginan yang rapuh. Macam-macam ide itu dikelola dengan karakter bahasa yang manis, tatanan kalimat yang di setiap jengkalnya mengandung upaya inspiratif. Kita bisa melihat hal ini dari perkataan salah satu tokoh dalam “Titik Nol”, dr. Burhan. Dia mengatakan: “kebahagiaan dan kemuliaan adalah hak semua orang, ambillah hak Anda itu.” Kalimat ini benar-benar power, mirip tombol “ON” dalam sebuah mesin, memberikan inspirasi bagi ketumpulan kehendak yang merupakan fitrah manusia. Bahwa, manusia memiliki seperangkat alat untuk mencapai cita-citanya. Manusia diberi hak yang sama oleh Tuhan, kehendak menjadi bahagia dan baik. Tuhan tidak pernah membedakan takdir manusia, semuanya sama. Ibarat sebuah kereta, takdir adalah lokomotif dan manusia masinisnya. Jika lokomotif itu memiliki kecepatan yang sama, maka manusianya lah yang harus menentukan, membawanya dengan kecepatan penuh atau ngopi dengan santai. Karena Tuhan tidak mungkin berlaku tidak adil, Dia menganugerahkan yang terbaik pada ciptaan-Nya, hanya saja mungkin sisi itu terabaikan.

Kata-kata dr. Burhan tersebut merupakan recovery bagi motivasi yang telah pudar, seperti yang dialami tokoh “aku” dalam cerpen “Titik Nol”. Ada suntikan gairah hidup yang tinggi, semangat menjadi seseorang yang dimanusiakan lagi, minimal oleh dirinya sendiri. Tokoh “aku” yang sekilas tampak bias ini digambarkan sebagai seseorang ahli motivasi yang tidak becus memotivasi diri sendiri. Dia lumpuh dan tidak mampu lagi berbuat apa-apa. ”Aku” seperti sampah yang bahkan tidak layak berada di tempatnya sendiri; tong sampah. Mungkin kata-kata itu tepat menggambarkan kondisi kejiwaannya.

Di “Titik Nol”, wujud kehendak digambarkan dengan keraguan, kehilangan keyakinan terhadap kemampuan diri sendiri, teralienasi dalam dunia yang dipenuhi kehampaan, seperti tong yang tidak hanya kosong, tetapi telah rusak. Beberapa gumaman kecil dari tokoh “aku” dalam “Titik Nol” menjadi realitas tentang enerji, yang oleh sang tokoh dianggap persoalan. Di dunia belahan mana pun, peroalan selalu timbul dari sikap, terutama sebab dan akibat, hukum kausalitas. Sikap itu muncul jika ada kepuasan yang tidak terpenuhi, meski sekedar bermimpi. Tokoh “aku” dalam “Titik Nol” tidak hanya gagal memenuhi kepuasan itu, dia bahkan tidak percaya mampu memperolehnya. Dia merasa hidup sudah habis baginya. Apapun yang dikatakan orang lain, termasuk kalimat-kalimat sakti dr. Burhan tidak memiliki pengaruh apa-apa, meski sejujurnya semua itu adalah benar.
Yang menarik dalam hal ini adalah ketika seorang guru yang konon memiliki kecenderungan lebih terhadap kata “paham” menerangkan hukum kekekalan enerji. Dia mengatakan bahwa enerji adalah anugerah Tuhan maka tidak bisa diciptakan apalagi dimusnahkan, hanya bisa dibelokkan arahnya dan dirubah bentuknya, seperti enerji listrik menjadi enerji panas, setrika.

Meski demikian, sang tokoh “aku” hanya bisa mengingat ucapan gurunya itu, mengakui kebenarannya, mengagumi isinya, tetapi telah kehilangan harapan untuk mencoba merealisasikannya. Dia menganggap kebenaran dan kebaikan hidup adalah masa lalu. Masa depannya hanyalah kegagalan dan dunia yang sempit, kursi roda dan tempat tidur.
membuatnya disebut pisau; ketajaman.

Pada “Titik Nol”, sifat atau karakter seseorang seakan-akan berada dalam dimensi yang lapang dan lentur, semisal enerji, sesuatu yang tidak bisa dimusnahkan dan diciptakan, hanya diarahkan. Seperti analogi tentang pisau, semua orang tahu pisau mempunyai dua sifat; tumpul dan tajam. Kedua sifat itu tidak mungkin mendominasi secara bersama-sama, hanya salah satunya saja. Maka parade tentang pisau menjadi semacam khutbah yang meneguhkan bahwa sifat tak ubahnya enerji, hanya bisa dibentuk dan diarahkan. Tumpul dan tajam sama artinya dengan baik dan buruk serta positif dan negatif.

Karena itu “Titik Nol” bisa menjadi semacam pentas seni bagi jiwa-jiwa yang terkadang kering dan basah. Tanpa mengurangi rasa hormat dalam memilih kehidupan.
“Selamat datang dalam perjamuan, sebuah simposium untuk ide-ide.”

Hanya kalimat itu yang bisa saya ucapkan, ungkapan selamat datang untuk siapa pun yang pernah mengunjungi “Titik Nol”, mengetuk pintunya, duduk di ruang tamu putihnya, menikmati hidangan khasnya, dan menginap di kamar tidur tanpa tilam hitam; jernih, bersih dan bening, seperti kanvas kosong yang telah siap dicorat-coret oleh para pelukis, tentu saja bukan Pablo Picasso, Henri Matisse, maupun Rembrandt Harmenszoon van Rijsn, tapi oleh seniman jiwa, pelukis yang lahir dari ide-ide dan imajinasi. Sekali lagi saya ucapkan.



Komentar untuk buku Antologi TITIK NOL

“Membaca "Titik Nol" memaksa Anda untuk terkejut-kejut sepanjang cerita. Para penyusun "Titik Nol" tidak benar-benar baru dalam dunia penulisan, mereka hanya menunggu saat paling tepat untuk membagi kisah mereka. Antologi "Titik Nol" adalah sebuah pembuktian ketangguhan karya mereka.” (Tasaro GK, Penulis Novel, “NIBIRU, Muhammad Lelaki Penggenggam Hujan, Muhammad Para Pengeja Hujan, dsb”)

“......Titik Nol, Anda akan menemukan upaya perjamuan ide-ide yang menarik, bahkan sesekali mencubit.........” (Editor: Muhammad Afiq Zahara, Penulis Novel, “Cinta Yang Ber-Tuhan”)

“Buku ini membuktikan bahwa kita memiliki banyak energi budaya, tersebar di tangan-tangan kreatif yang gelisah melihat keadaaan. Karenanya, buku sederhana ini tidak saja membangkitkan harapan akan masa depan sastra Indonesia, melainkan juga harapan akan masa depan Indonesia itu sendiri.” (Jamal D. Rahman, Penyair, Pemimpin Redaksi Majalah Sastra Horison dan Jurnal Sajak)

“Sejumlah cerita pendek yang terhimpun dalam antologi cerita pendek “Titik Nol” cukup menarik untuk diapresiasi. Masing-masing pengarang telah menunjukkan kemampuannya, baik dalam mengolah tema maupun bahasa. Berkait dengan itu, kumpulan cerita pendek ini asyik dibaca bukan hanya terletak pada keragaman tema yang diolah oleh para pengarangnya, melainkan juga terletak pada cara para pengarang dalam memainkan tokoh-tokoh cerita yang dihidupkannya secara sungguh-sungguh. Semoga ke depan lahir para penulis cerita pendek yang tangguh, yang sanggup memperkaya sastra Indonesia kontemporer dengan gaya ucap yang khas dalam penemuannya yang baru.” (Soni Farid Maulana, Penyair, dan Penulis Buku, “Secangkir Teh, Pemetik Bintang `Sajak 1976-1986`”, dsb)

“….Tema yang kompleks.“Titik Nol” Merupakan karya sastra yang enak di baca dan bermanfaat, sarat dengan imajinasi dan ide-ide menarik. Antologi “Titik Nol” patut untuk dijadikan sebagai ilustrasi dari setiap kesegaran pemikiran penulis-penulisnya....” (Ibnu Muallif, Penggiat Teater, dan Penikmat Sastra)

“….Menarik, serasa bercermin dengan permasalahan-permasalahan yang terjadi di sekitar kita. Layak dibaca oleh semua kalangan….” (Nurul Wardani, Mahasiswi Universitas Nasional, dan Penikmat Sastra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KOTAK KOMENTAR